NORMA HUKUM KESEHATAN BERSIFAT LEX SPECIALIS DAN PROPORSIONAL UNTUK PERLINDUNGAN HUKUM MEDICAL PROVIDERS


info-image
 

  1. PENGANTAR

Pelayanan kesehatan sejak pertengahan abad ke-20 berlandaskan norma baru bersifat kontraktual (persetujuan) dan humanitarian (HAM) dengan nilai universalitas bagi kesejahteraan manusia. Dengan demikian norma lama sudah ditinggalkan yang bersifat pengobatan paternalistik karikatif yang meletakkan posisi pasien dianggap orang lemah yang dapat diperlakukan apa saja tanpa hak dihadapan dokter atau petugas tenaga kesehatan atau rumah sakit.

 

Perubahan pandangan hidup pelayanan kesehatan ini menumbuhkan norma hukum khusus (lex specialis) eksepsional yang diawali dengan diberlakukan hukum kedokteran dan selanjutnya diperluas menjadi hukum kesehatan yang mengandung sendi kesejahteraan. Salah satu elemen paradigma kesehatan yang mendasar adalah “kesehatan" diartikan keadaan kesejahteraan dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi yang dirumuskan dalam deklarasi internasional dan pasal 1 sub 1 Undang-undang Kesehatan No.23/1992. Berikutnya ditetapkan bahwa derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan “promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif” yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (pasal 10 Undang Undang Kesehatan No. 23/1992) yang dahulu hanya dikenal upaya kuratif saja.

 

Perlindungan hukum yang mendasar bagi tenaga kesehatan berhak memperoleh jaminan hukum yang dalam melaksanakan tugas sesuai dengan (1) profesinya, (2) mematuhi standar profesi, dan (3) menghormati hak asasi pasien, dan apabila tenaga kesehatan melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesi dapat dikenakan hukum disiplin dengan tindakan disiplin oleh Majelis Disiplin Tenaga, Kesehatan, sebagaimana diatur pasal 53 ayat (1) (2), pasal 54 ayat (1) (2) Undang-undang Kesehatan No. 23/1992 dengan sanksi penetapan ganti kerugian dan atau tindakan administratif oleh yang berwenang. Ketentuan  jaminan perlindungan hukum tenaga kesehatan itu dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No.32/1996 dan berbagai Kep.Pres dan Per.Men.Kes.

 

Dengan demikian menurut logika hukum dan hukum kesehatan yang rasional, kesalahan/ kelalaian tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas profesi mempunyai wilayah berlaku hukum kesehatan khusus dalam perundang-undangan kesehatan, bukan dibidang hukum pidana maupun hukum perdata, sehingga berlaku asas “lex specialis dorogatelegi generali”. Keberlakuan “medical act” dan “medical liability” dari perundang-undangan hukum kesehatan harus normatif diterapkan.

 

2. SUMBER NILAI-NORMA DASAR KESEHATAN

Salah satu landasan idealitas Piagam Atlantik (the Atlantic's Charter) 1942 dan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (the United Nation's Charter) 1945 adalah untuk memelihara perdamaian, kemanusiaan dan mewujudkan cita-cita kesejahteraan sosial (social welfare) bagi seluruh masyarakat bangsa-bangsa di dunia, sesudah pasca perang dunia yang mengakibatkan malapetaka dan kesengsaraan umat manusia. Nilai moral ini harus dapat menjadi kenyataan.

 

Kedua piagam itu mengandung nilai-norma universal yang mengilhami setiap pemerintahan negara di dunia untuk menyelenggarakan garis-garis besar haluan negara dalam membangun kesejahteraan hidup masyarakat warganegaranya secara berkesinambungan. Muatan Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia juga bercita-cita menyelenggarakan adaptasi masyarakat sejahtera bagi segenap penduduk Indonesia.

 

Dunia international melalui kegiatan organisasi kesehatan sedunia (World Health Organization) dan asosiasi kedokteran sedunia (World Medical Association) turut mewujudkan masyarakat sejahtera melalui berbagai rekomendasi dan atau deklarasi internasional antara lain di Genewa, Lisabon, Helsinki dll, sejak 1941 yang pada pokoknya melalukan perubahan besar dari pola pengobatan karikatif “human services” dibidang kesehatan Alma Alta (1987) menetapkan Health for All” untuk masyarakat di dunia pada tahun 2000 menjadi kewajiban bagi negara-negara anggota PBB untuk bekerjasama dengan komisi kesehatan di bawah WHO bersama WMA.

 

Berbagai deklarasi dan atau rekomendasi kesehatan tersebut dilatarbelakangi dari motivasi pelaksanaan nilai norma piagam dunia mengangkat martabat manusia serta perikemanusiaan yang tertuang dalam “the Universal Declaration of an Right 1948”. Lima (5) unsur hak asasi UDHR : “social security, the right to health care, the right to information, the right to self determination, the right to protect of secrecy”, harus dikembangkan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan pola baru sebagai paradigma kesehatan dalam menyongsong era kesehatan global kurun waktu milenium ketiga di dunia. Nilai norma pelayanan kesehatan itu dipancarkan ke dalam norma hukum kesehatan bersifat hukum “lex specialis” bermuatan norma khusus eksepsional profesi ada beberapa perbedaan dengan hukum “lex generalis” bermuatan norma berlaku umum beralaskan asas hukum “lex specialis dorogate lege lex generali”. Salah satu aspek hukum kesehatan ditujukan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap profesi pelaku pelayanan kesehatan dan terhadap setiap orang penerima pelayanan kesehatan.

 

Posisi dan fungsi hukum kesehatan yang beraspek perlindungan hukum bagi pelaku pelayanan kesehatan dan penerima pelayanan kesehatan inilah yang belum dipahami oleh masyarakat luas termasuk sebagian besar ahli hukum dan tenaga kesehatan yang berlanjut pada kekeliruan penerapan/ penegakan hukum (dwaling) dalam penyelenggaraan “rechtspraktijk” dan “rechtspraak”. Kekeliruan hukum ini dapat membahayakan dan menyesatkan masyarakat. Jika demikian hukum cenderung bernafsu konfrontatif, bukan  hukum untuk kedamaian, ketenteraman dan kebahagiaan dalam masyarakat.

 

3. PERLINDUNGAN HUKUM DAN KEMANFAATAN HUKUM PADA PELAYANAN KESEHATAN

Pertumbuhan hukum kesehatan normatif berlaku relatif mudah sejak tahun 1950 mulai dengan lingkup hukum kedokteran dan kemudian cakupannya diperluas menjadi hukum kesehatan sejak tahun 1980 mengembangkan menjadi kesepakatan internasional yang diterima sebagai hukum internasional dam hukum nasional oleh masyarakat bangsa-bangsa beradap di dunia. Negara Republik Indonesia turut mengembangtumbuhkan hukum kesehatan pada awalnya dituangkan dalam Undang Undang Pokok Kesehatan 1960, dan selanjutnya disesuaikan dengan tuntutan konsep/ doktrin kesehatan baru berubah maju dalam Undang Undang Kesehatan No. 23/1992 beserta dengan berbagai peraturan organik di bawahnya. Lebih lanjut juga sudah dipersiapkan rancangan Undang Undang Praktek Kedokteran dan Undang Undang Praktek Kefarmasian yang akan berlaku efektif tahun 2003 untuk menopang kebijakan pembangunan kesehatan global program tahun 2010.

 

Segala norma hukum di bidang hukum kesehatan (lex specialis) itu dimaksudkan untuk mengantisipasi kemajuan perlindungan hukum dan kemanfaatan hukum pada pelayanan kesehatan guna turut mengisi program kebijakan kesejahteraan sosial di dunia yang  dijabarkan secara kondisional di tingkat nasional oleh negara-negara yang bersangkutan untuk membangun kesejahteraan masyarakatnya. Dalam hal yang demikian itu berarti kesehatan tidak dapat dipisahkan bagi kebijakan kesejahteraan.

 

Pendirian doktrin hukum kesehatan telah mengadakan redifinisi bahwa kesehatan bukan arti pengobatan saja tetapi harus diartikan kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (pasal 1 sub.l U.U. No. 23/1992).

 

Sumberdaya kesehatan dengan tiga komponen pokok, berupa: upaya kesehatan (kegiatan), tenaga kesehatan (profesi) dan sarana kesehatan (tempat penyelenggaraan) merupakan suatu mata rantai pelayanan kesehatan yang masing-masing komponen kesehatan itu telah memperoleh dasar-dasar aturan hukum yang menyangkut status, struktur dan fungsi dalam pelayanan kesehatan dengan pengertian bahwa salah satu aspek hukumnya adalah perlindungan hukum.

 

Sisi perlindungan hukum pada khususnya terhadap tenaga kesehatan dokter, perawat, bidan dan tenaga kesehatan lainnya memperolah jaminan hukum jika menjalankan tugas profesi berdasarkan (a) standar profesi, (b) menghormati hak-hak pasien, serta (c) melaksanakan tugas sesuai dengan profesi, dan (d) kewenangannya (pasal 53 ayat (1) (2) UU No.23/1992). Apabila terjadi sesuatu dalam tindakan medis atau terjadi sesuatu terhadap pasien, maka tenaga kesehatan yang bersangkutan akan ditindak dengan sanksi administrasi (ditegur atau dicabut ijin) oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan manakala melanggar salah satu dari 4 syarat pasal 53 sebagaimana ditentukan dalam pasal 54 UU No. 23/1992. Namun jika tenaga kesehatan melanggar keempat semua syarat itu, maka MDTK harus segera menentukan sikap tegas apakah masih bisa mendapat perlindungan hukum kesehatan ataukah tidak dengan menyalurkan ke arah ditindak melalui dasar peraturan hukum umum dari instansi penegak hukum penyidik perkara (Polri). Jadi jelas tidak langsung menjadi urusan penegak hukum penyidik Polri mengingat kejadian tersebut dalam wilayah tugas profesi dilingkungan hukum kesehatan. Dimasa depan (tahun 2003) peristiwa pelanggaran disiplin tenaga kesehatan akan diajukan ke pengadilan profesi berdasarkan peraturan hukum undang undang praktek kedokteran (meniru hukum kesehatan di negara Belanda). Fungsi dan wewenang tenaga kesehatan diatur PP No. 32/ 1996.

 

Pada sisi yang lain perlindungan hukum kesehatan terhadap pasien ditentukan bahwa setiap orang berhak atas ganti kerugian yang diakibatkan oleh tenaga kesehatan yang menimbulkan kerugian pasien sekalipun kemungkinan terjadi kematian atau cacat permanen (pasal 55 beserta dengan penjelasan pasalnya UU No. 23/1992. Hukum kesehatan internasional dan standar tugas profesi kesehatan menetapkan norma bahwa peristiwa (accident) yang sama-sama tidak dikehendaki baik oleh pasien maupun oleh dokter/ RS itu ditentukan sebagai problem di wilayah sengketa pelayanan kesehatan dengan sanksi ganti kerugian berupa pengembalian biaya atas nama pasien, atau biaya perawatan atau santunan asuransi sosial kesehatan yang terukur secara layak menurut ketentuan hukum kesehatan/ undang undang kesehatan yang berlaku. Masalah peristiwa, yang menjadi sengketa hukum kesehatan, dan itu sama sekali bukan wilayan hukum kejahatan/ tindak pidana.

 

Bentuk tatanan hukum kesehatan bagi perlindungan hukum tenaga kesehatan dan perlindungan hukum bagi pasien dalam hal terjadi sengketa hukum yang timbul dari pelayanan kesehatan terkait dengan tugas profesi kesehatan, maka penyelesaian hukum yang proporsional mengharuskan etikat baik kedua belai pihak menemukan kesepakatan sanksi ganti kerugian yang wajar dan terukur berdasarkan norma tatanan hukum kesehatan dan standar pelayanan kesehatan. Masing-masing pihak melalui kuasa hukum, atau MTDK atau peradilan profesi, atau badan penyelesaian sengketa yang sengaja dibentuk oleh para pihak-pihak dengan mendasarkan norma dan sanksi ganti kerugian sesuai dengan hukum kesehatan.

 

Peradaban hukum kesehatan yang sumber nilai moral dan norma hukumnya sudah berlaku secara universal ini, menuntut pertanggungjawaban dokter/ RS untuk melakukan penyelesaian terbaik dalam menjaga mutu pelayanan kesehatan berkualitas tanpa merugikan pihal manapun (the ethical commitment of the provider to the patient for high quality health care, and to prevent medical injury).

 

Sebaliknya pertanggungjawaban pihak pasien karena peristiwa bersifat “error of medical risk” berhak mengajukan sengketa hukum yang terukur dengan “health care financing” juga tanpa merugikan pihak manapun, sesuai dengan ketentuan pasal 55 UU No. 23/ 1996 maupun norma “Hospital Patient's Charter” 1979 dari rekomendasi The 29 of World Medical Assembly Tokio, 1975. Obat dan pengobatan melekat resiko.

 

Dengan demikian telah berkembang, aspek perlindungan hukum bagi “medical provider” dan perlindungan hukum bagi “medical reciever” dalam lingkungan wilayah hukum kesehatan (lex specialis) bukan dipaksakan tersesat dalam lingkungan wilayah hukum umum (lex generalis) yang membahayakan perkembangan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat luas. Tugas provider yang dijalankan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya harus melakukan perubahan ke doktrin baru yaitu bukan motif keagungan dokter menjalankan tugas suci dan ilmu kedokteran sebagai ilmu yang mulia lalu bersikap karikatif-paternalistik seperti beberapa abad masalah dan pasien dianggap penderita sakit berkedudukan lemah. 

Tetapi berkembang maju ke arah tugas dokter dan ilmu kedokteran untuk mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan dengan pendekatan “human services” dan “human welfare” yang memperlakukan pasien yang sejajar dengan hak-haknya “self letermination” dalam cakupan 5 hak asasi pasien dari implementasi nilai norma UDHR. Perilaku dokter sebagai manusia biasa bukan malaikat, dalam hal-hal tertentu bisa saja berlaku salah karena kelalaiannya (bukan dolus) yang dirasakan merugikan pasien, sudah barang tentu akibat terhadap pasien itu dievaluasi oleh tim “medical audit” (medical review malpractice ommission) dan jika kesimpulannya perlu diangkat menjadi sengketa hukum maka dapat ditempuh penyelesaian yang terbaik sesuai dengan hukum kesehatan/peraturan hukum undang-undang kesehatan dan bukan konfrontasi dari hukum umum dalam perkara kriminal yang berlarut-larut memakan waktu dan tenaga karena interpretasi hukumnya lemah, sedangkan pasien menjadi tidak terurus sebagaimana mestinya dalam pelayanan kesehatan.

 

demikian pula posisi dan peran pasien atau keluarga pasien harus memahami (1) bahwa obat dan pengobatan itu pada dasarnya mengandung suatu resiko yang tak mengandung (2) bahwa apabila terjadi peristiwa / error ada suatu kerugian atau membahayakan diri pasien berhak mengangkat menjadi konflik sengketa hukum setelah ternyata secara ”notoir-feit, (3) bahwa pasien atau keluarga menerima informasi cukup (adequate information) dapat menerima atau menolak diagnosa dan tindakan medik yang akan dioperasionalkan (informed consent/persetujuan pasien atau keluarga atas tindakan medik) yang ditindak lanjuti dengan profil kesehatan pasien berupa rekam medis (medical record), dan (4) bahwa pasien layak mengetahui dilayani oleh tenaga kesehatan yang menyandang profesi dan berwenang, maka pasien atau keluarga dianggap telah menerima baik pelayanan kesehatan untuk memulihkan kesehatan pasien (tanpa terjadi keadaan nomor (2) tersebut di atas) sesuai dengan maksud dari informed consent maupun medical record.

 

4. PENGERTIAN DAN BENTUK KELALAIAN TUGAS PROFESI MEDIS

Hukum kesehatan yang substansinya dari konvensi, deklarasi, rekomendasi di bidang kesehatan menetapkan bahwa perbuatan kesalahan yang berkadar kelalaian (bukan kesengajaan) tugas profesi kesehatan disebut “medical malpractice”, bukan perbuatan melawan hukum perdata ataupun perbuatan melawan hukum pidana. Pengertian medical malpractice berada dalam jalur normal dan sanksi hukum kesehatan yang terbagi atas bentuk ”ethical (medic) malpractice” suatu “legal (medic) malpractice” suatu pelanggaran atas hukum kesehatan. Malpraktek bukan sama dengan tindakan pidana/ingkar janji perdata.

 

Norma kesepakatan internasional untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan (global) yang di adaptasi baik di lingkungan hukum kesehatan nasional maupun perundang-undangan tentang kesehatan dikacaukan dengan hukum umum. (lex specialis generalis) karena hakekat berbeda walaupun terdapat obyek yang sama. Contoh, doktrin vivi sectie (± 1936) bahwa pembedahan yang dilakukan oleh ahli untuk kepentingan kedokteran tidak termasuk pelanggaran hukum penganiayaan atau pembunuhan walaupun realitanya ada kesamaan terjadinya suatu keadaan yang dapat dinilai sebagai korban oleh ilmu kedokteran. Contoh lain, mempertunjukan alat pencegah kehamilan yang tampak menimbulkan rangsangan seksual oleh kodifikasi hukum pidana termasuk kejahatan yang diancam penjara atau pidana denda, tetapi perbuatan yang sama untuk kepentingan kesehatan/ mencegah ledakan populasi yang kesehatan/ mencegah ternyata dibenarkan oleh hukum pidana sehingga tidak ada tuntutan hukum sehingga bahkan penyelenggaraan praktek keluarga berencana (KB) mendapat sambutan dilakukan oleh masyarakat luas, walaupun kemungkinan terjadi error beberapa kasus KB yang membahayakan korban pasien atau kegagalan KB yang mengecewakan pasien (kasus Indah SL di RS Kadipolo, kasus Endang oleh dr. Guno di RS  P.Rapih, serta kasus-kasus sterilisasi KB Mantap yang dianggap merugikan peserta keluarga berencana.

 

Kasus berat tahun 1999 mengenai kehamilan bermasalah yang mengakibatkan pendarahan yang ditangani oleh RSD Sleman ternyata dalam pertolongan persalinan sang ibu gagal (meninggal) dan sang anak diselamatkan dengan tindakan vakum yang mengakibatkan  cacat otak kepala. Kegagalan penyelamatan persalinan untuk ibu dan anak maka tuntutan perkara pidana/ perdata yang diajukan kandas berdasarkan norma perlindungan hukum kesehatan terhadap dokter beserta RS, dan kuasa hukumnya segera sadar memahami aturan hukum kesehatan lebih tepat dari pada aturan hukum umum. Titik puncak kekuatan berlakunya hukum kesehatan sesungguhnya sudah muncul tahun 1982 ketika oleh Mahkamah Agung memutuskan dr. Setianingrum dinyatakan bebas murni karena tidak ada kelalaian terhadap standar profesi dalam melakukan pelayanan kesehatan kepada pasien yang menderita penyakit akut, yang ternyata gagal (pasien meninggal), meskipun oleh Pengadilan Negeri Pati dan Pengadilan Tinggi Semarang dinyatakan terbukti atas tuduhan kelalaiannya mengakibatkan orang meninggal oleh karenanya dipidana.

 

 

Kasus berikut ini berbeda dengan yang diatas, bidan dan dokter umum melakukan beberapa kali aborsi di Jakarta Utara, dari tuduhan kejahatan aborsi melanggar standar profesi dan tidak berwenang melakukan tugas profesi, maka diputus bersalah dan dipidana oleh Pengadilan Negeri Jak-ut. Demikian pula kasus dokter forensik UGM bekerjasama dengan seorang Mayor Polri membuat keterangan visum palsu menyatakan korban tenggelam di air yang berakibat mati, padahal sesungguhnya korban dibunuh lalu ditenggelamkan yang dibuktikan dalam tuduhan, oleh karenanya dijatuhi pidana penjara oleh Pengadilan Negeri. Kedua dokter tersebut menjalankan profesi tetapi dilandasi oleh niat jahat (oogmerk) yang diwujudkan pada perilaku jahat terhadap korban, sehingga tidak memperoleh perlindungan hukum kesehatan karena pertentangan dengan ketentuan pasal 53 ayat (1) UU No.23/1992 yaitu melakukan pekerjaan tidak sesuai dengan ketentuan profesi dokter, maka dituntut berdasarkan kondifikasi hukum pidana dan dijatuhi sanksi pidana penjara.

 

Kepustakaan hukum kesehatan yang mengandung aspek substansi norma dan sanksi hukum dari sistem gabungan antara perkembangan kontektual ilmu hukum dan kemajuan pesat ilmu kedokteran/ kesehatan telah tumbuh menjadi bagian khusus ekseptional dalam rangka kegiatan pembangunan kesehatan dan pelayanan kesehatan masyarakat (Indonesia). Dalam kepustakaan hukum kesehatan telah memuat salah satu ketentuan bahwa kualifikasi tentang malpraktek (medical malpractice) ditetapkan suatu tolak ukur yaitu:

(1). ada atau tidaknya kelalaian (berat) dalam artian negligence, yang selanjutnya diikuti ketentuan.

(2). standar profesi - Standard profession of care,

(3). resiko medis - medical risk,

(4). persetujuan pasien untuk tindakan medis - informed consent,

(5). rekam medis - medical record,

(6). pertanggungjawaban - medical liability Ke-enam tolak ukur untuk kesalahan malpraktek harus ada 6 satu-kesatuan persyaratan (panel instrument pilot), bukan sekedar ada kelalaian saja, tetapi ditentukan juga oleh ukuran kedua sampai ke enam.

 

Oleh karena itu dipandang perlu untuk menetapkan malpraktek tidak dapat terjadi dengan dilakukan dalam bentuk kesengajaan (opzettelijk).

 

Logika hukum kesehatan bahwa untuk menghindari terjadinya malpraktek, para dokter atau tenaga kesehatan tidak lalai untuk mematuhi wajib hukum standar profesi, resiko medis, informed consent, medical record, dan medical liability sebagaimana telah diatur dalam UU Kesehatan No. 23/1992 beserta dengan peraturan perundangan di bawahnya, serta konsisten dengan hakekat “Hospital - Patient Charter 79”

 

Cakupan materi hukum kesehatan juga mengembangtumbuhkan struktur kesalahan dari kelalaian tugas profesi dalam tiga bentuk

  1. Bentuk medical error atau medical accident, atau judgement error atau justified risk/ risk of tratment, yang secara teknis medis hanya diketahui oleh tenaga kesehatan sesuai dengan tugas profesi yang dilaksanakan secara profesional,
  2. Bentuk medical malpractice, baik di lingkungan wilayah ethical malpractice maupun di wilayah legal malpractice,
  3. Bentuk offences againt medical treatment.

 

Bentuk kesalahan nomor (1) dan nomor (2) tetap berada pada lingkungan hukum kesehatan, sedangkan bentuk kesalahan no (3) dimungkinkan untuk diarahkan ke wilayah hukum umum tergantung dari obyek kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Di beberapa negara maju di bidang hukum kesehatan sudah mengembangkan model “law or Tort” sebagai jenis hukum yang bukan perdata, bukan pula hukum pidana dan hukum administatif, melainkan sejenis hukum substansinya terkait dengan masalah “timbulnya suatu kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan di satu pihak terhadap pihak lain dengan norma dan sanksi “restitution” atau “compensation”.

 

Perkembangan pola hukum yang demikian ini dimaksudkan konflik hukum antara dokter/ RS dan pasien/keluarga tidak memasuki hukum pidana atau hukum perdata yang peradilannya menunjukkan gejala menurun mutu efisiennya dan efektif bagi masyarakat luas. Demikian pula ada beberapa negara yang lain mengembangkan pola hukum kesehatan ke arah extern- ruchtrecht yang terkait dengan norma hukum, dan itern-tuchtrecht yang terkait dengan norma etika, seperti di negara Belanda yang mengembangkan pola peradilan khusus dari konflik hukum dokter dan pasien dalam pelayanan kesehatan. Kecenderungan hukum kesehatan Indonesia akan dimulai tahun 2003 - 2010 mengembangkan pola peradilan profesi yang disebut “Pengadilan Disiplin Profesi Tenaga Medis” yang mengarahkan penyelesaian konflik antara dokter/RS dan pasien/keluarga (seperti Jepang, Singapor) dalam bentuk tuntutan/ gugatan sengketa hukum dengan sanksi utama ganti kerugian disamping ada sanksi lain yang ersifat sanksi alternatif.

 

Demikian dapat ditarik garis pemisah hukum kesehatan tidak dapat dicampur adukan dengan hukum umum (lex generalis), sehubungan konflik hukum antara dokter/ RS dan pasien/keluarga tidak mungkin tercapai tujuan tepat guna dan hasil guna di Paradilan Profesi dalam bentuk Ad Hoc yang ditangani oleh para petugas hukum yang profesional menguasai secara orientasi ilmu hukum dan ilmu kesehatan.

 

5. POKOK-POKOK PIKIRAN WAJIB HUKUM INFORMED CONSENT UNTUK PERLINDUNGAN HUKUM KESEHATAN

  1. Perlindungan hukum kesehatan menjadi norma pengayoman terhadap upaya kesehatan, tenaga kesehatan, sarana kesehatan dan berbagai pelayanan kesehatan lainnya termasuk lingkup hukum nasional maupun hukum internasional sebagai bagian lex specialis.

Pengayoman hukum kesehatan yang bersifat lex spesialis mengandung norma eksepsional terutama terhadap tugas profesi kesehatan di luar wilayah hukum umum (lex generalis). Pengobatan secara medis terdapat sedikit atau banyak unsur resiko medis, dan apabila pemasalahan timbul pada tingkat konflik hukum yang berbentuk medical accident atau medical malpractice dikualifikasikan “sengketa hukum” di bidang hukum kesehatan, kecuali dalam medical audit secara hukum dinyatakan “offences against medical treatment” dapat berakibat menjadi tuntutan atau gugatan hukum (pidana/perdata) bidang perkara hukum umum di wilayah lex generalis.

  1. Pada dasarnya aturan hukum kesehatan memberikan perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan atau sarana kesehatan diharuskan petugas profesi kesehatan melakukan wajib hukum berdasarkan standar profesi dan menghormati hak asasi pasien serta memenuhi wajib hukum lain-lainnya. Diantara wajib hukum lain-lain itu keharusan adanya informed consent.
  2. Informed consent adalah perwujudan hak asasi manusia (HAM) bagi peruntukan si pasien untuk memperoleh hak informasi tentang kesehatannya melalui proses adequate information lebih dahulu, dan berlanjut pada pernyataan setuju untuk dilakukan tindakan medis terhadap pasien dalam bentuk rumusan informed consent, terkecuali pasien nyata-nyata menolak tidak setuju yang dirumuskan dalam refusal consent. Hak asasi manusia si pasien ini (informed consen – refusal consent) berlandaskan konsep HAM yang menyangkut “the rights to information” dan “the rights to self determination” yang tercantum dalam “the Universal Declaration of Human Rights” yang berlaku bagi masyarakat bangsa-banga beradap di seluruh dunia di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa.
  3. Fungsi informed consent dan refusal consent adalah hak pribadi si pasien, terkecuali pasien tidak sadar atau dibawah umur tertentu atau tindakan medis ber-resiko tinggi (3 pengecualian) dapat diwakili atau didampingi orang lain. Namun disamping 3 pengecualian itu, apabila terjadi pelayanan kesehatan lebih bersifat “medical emergency care” yaitu keadaan gawat darurat baik yang dilaksanakan di dalam IRD maupun di luar IRD yang perkembangannya semakin luas dapat mencakup emergency care dan emergency preparedness yang diakibatkan oleh kecelakaan ulah manusia serta bencana alam, maka dibenarkan secara hukum untuk menyimpangi pengadaan informed consent dalam bentuk “implied consent”. Pembenaran hukum implied consent dapat dilaksanakan di IRD oleh Kepala RS, atau Kepala Instalasi, atau oleh petugas yang diberi wewenang khusus, sedangkan apabila di luar IRD pembenaran hukumnya semakin diperluas dapat dilakukan bukan oleh dokter / boleh perawat yang ditunjuk dalam hal terjadi “medical-emergency evacuation (medevac)”.
  4. Wajib hukum informed consent mempunyai mata rantai dengan “medical record” dimana rekam medis tidak mungkin diwajibkan tanpa informed consent. Letak informed consent melekat di bagian depan rekam medis dengan disertai atau tidak disertai ekspertise hasil pemeriksaan laboratorium medis.
  5. Informed consent memuat unsur-unsur dalam formulir:
  1. Memuat isi (1) identitas si pasien dengan menyebutkan nama dan umur secara jelas tidak meragukan, karena prinsip norma informed consent dipahami dan ditandatangani oleh pasien sendiri terkait dengan dua hak asasi manusia (information dan selfdetermination), terkecuali ada tiga pengecualian wajib hukum dibenarkan hukum diwakili tanda tangan oleh keluarga atau orang lain yang dianggap layak bertanggungjawab, (2) memuat kalimat setuju untuk dilakukan tindakan medis/diagnosa/beserta tindakan lain yang relevan baik terhadap jaringan tubuh operasi yang maupun pemberian obat, dan setuju untuk perawatan berlanjut yang setuju seharusnya diperlukan, (3) memuat kalimat setuju untuk tindakan anaestesi atau pembiusan lokal maupun total, (4) memuat kalimat mengerti dan setuju terhadap kemungkinan resiko/komplikasi yang terjadi terkait dengan tindakan medik/operasi yang bersangkutan secara medis;
  2. Tindakan medik atau (medical intervention) dan atau diagnosa, atau operasi dengan disertai spesifikasinya;
  3. Pada umumnya mencakup tindakan bedah dan atau tindakan atau tindakan anaestesi yang masing-masing tindakan tersebut dipertanggungjawabkan sendiri yang secara terpisah (medical liability) walaupun tindakan medis itu dilaksanakan oleh suatu tim operasi;
  4. Tidak diperlukan memuat kalimat si pasien/keluarga tidak akan jika cacat/mati, karena catatan kalimat atau menuntut jika imat yang demikian di muka hukum tidak berlaku efektif mengingat akibat cacat/mati dari tindakan medik diharuskan ada evaluasi medikal audit yang terkait dengan aspek kelalaian / standar medis / etika medis/ penghormatan hak asasi pasien/ persyaratan normatif dari aturan hukum yang berlaku;
  5. Tidak diperlukan syarat materai (stamp) karena informed consent bukan bentuk perjanjian bermaterai, tetapi bentuk pernyataan setuju dari pasien atau keluarga yang dirumuskan secara tulisan untuk dokumen perlindungan HAM, kecuali untuk tindakan medik beresiko tinggi (misalnya bedah plastik vital) atau pelayanan medik terapeutic previlage (misalnya bayi tabung/bayi cangkok, atau menyangkut bio’ethic).

Dibuat rangkap dua, lembar pertama untuk dokter/ rumah sakit dan lembar kedua untuk pasien/ keluarga guna dibaca kedua kalinya sambil menunggu operasi oleh sanak keluarganya (catatan : saya sudah 16 kali menangani kasus konflik hukum berat konfrontasi antara pasien/ keluarga terhadap dokter/ RS, dan yang paling berat menangani kasus Nn. Yusnam di RS Harapan Bunda Batam sampai melibatkan Perwira Mabes Polri / Kapoltabes Barelang Batam ternyata “gara-gara keluarga/ pasien lupa tidak menyadari telah memperoleh informasi dalam informed tidak rangkap”, korban ngotot bahwa mereka dikelabui dokter/ consent RS atas terjadinya medical accident, terus langsung diberitakan di koran/ TV dibantu pengacara dan LSM berlanjut lapor ke Polres menjadi perkara pidana yang rumit, Direktur RS / Dokter bolak-balik diperiksa oleh Penyidik Polri yang menganggap medical accident itu sebagai kejahatan tindak pidana KUHP, padahal sesungguhnya mereka tidak tahu, tidak paham norma hukum kesehatan?

 

7. Dalam kepustakaan hukum kesehatan yang berkembang di dunia tekah disepakati bahwa hukum kesehatan untuk pelayanan kesehatab global dan universal merupakan jenis hukum yang unik dan spesifik dan oleh karena itu di banyak negara dikembangtumbuhkan jenis hukum khusus pelayanan kesehatan:

    1. Law of tort yaitu jenis hukum bukan perdata, bukan pidana, bukan administratif, tetapi sebagai jenis hukum dengan norma tata aturan berbagai aspek pelayanan kesehatan dan profesi kesehatan agar tercapai “hight quality of health care” dan manakala terjadi konflik hukum harus diproses secara “sengketa hukum” bukan gugat perdata / tuntutan pidana dengan prinsip sanksi hukum “restitution or compensation” jika terbukti terdapat kelalaian dari tugas profesi kesehatan atau terjadi malpraktek.
    2. Dikategorikan sebagai hukum “intern tuchtrecht jika ethical malpractice-extern tuchrecht jika legal malpractice” menjadi wewenang peradilan khusus (AD.HOC) bukan peradilan umum.

 

Dalam hal sejarah hukum kesehatan, pengadaan informed consent diperlukan jika seorang manusia dijadikan obyek penelitian medis (1947), kemudian berlanjut diperluas informed consent dalam hubungan dokter/ RS dan pasien/ keluarga (1960 -1970) menjadi wajib hukum kesehatan (preeminent guiding mixed legal - professional ethical principle) dan di beberapa negara melahirkan Undang Undang tentang “the Patient Self-Determination” dalam lingkup “modern legal and ethical dimensions of patient informed consentgenerally” dan “to make decisions concerning medical care including the right to accept or refuse medical treatment or surgical treatment, as directing health care activities and a respect for patient autonomy or individual self determination”.

 

8. Sangat disayangkan aturan hukum persetujuan tindakan medik (informed consent) dari Permenkes No. 585 tahun 1989 dan KepDir Yanumed 00.06.3.5.1866 tahun 1999 belum sepenuhnya mengacu hukum kesehatan di kesehatan internasional sebagai landasan nilai norma etika dan nilai norma hukum, (vide ad.nomor 3,4,6,7) di atas, sehingga aturan itu masih tidak jelas yang ternyata pada tanggal 1 September 2001 di RS Sardjito diselenggarakan C diskusi interaktif yang dihadiri ± 125 peserta. Dalam hal yang demikian ini dapat diartikan bahwa Departemen Kesehatan RI bisa dianggap belum mengembangtumbuhkan hukum kesehatan sebagai norma lex specialis bersifat eksepsional/ khusus di bumi Indonesia sehingga menjadi salah satu faktor konflik hukum yang meresahkan masyarakat termasuk health providers dan health recivers dikalangan dokter dan atau rumah sakit yang sering kali menjadi korban (criminogen / victimogen).

2483

Dokter Bedah

52

Cabang